Tiongkok Menolak Vaksinasi Warganya, Masih Pentingkah Vaksin COVID-19?

Pandemi COVID-19 telah berlangsung setahun, bahkan dirayakan hari lahirnya oleh masyarakat dunia. Bukan untuk bersuka cita melainkan menampilkan kerisauan fenomena yang seakan tak ada titik terangnya. Sejak awal pandemi banyak ahli dari berbagai negara telah berusaha meneliti formula tepat untuk melawan virus ini. Namun, faktanya sekarang setelah vaksin ditemukan masih banyak yang ragu. Apakah ini vaksin untuk menyembuhkan atau membunuh? Berbagai propaganda dan isu berkembang di masyarakat, baik yang konservatif maupun liberal.
Virus Corona
Virus Corona adalah bagian dari keluarga virus yang menyebabkan penyakit pada hewan ataupun juga pada manusia. Di Indonesia, masih melawan Virus Corona hingga saat ini, begitupun juga di negara-negara lain. Jumlah kasus Virus Corona terus bertambah dengan beberapa melaporkan kesembuhan, tapi tidak sedikit yang meninggal. Usaha penanganan dan pencegahan terus dilakukan demi melawan COVID-19 dengan gejala mirip Flu.
Kasusnya dimulai dengan pneumonia atau radang paru-paru misterius pada Desember 2019. Kasus infeksi pneumonia misterius ini memang banyak ditemukan di pasar hewan tersebut. Virus Corona atau COVID-19 diduga dibawa kelelawar dan hewan lain yang dimakan manusia hingga terjadi penularan. Coronavirus sebetulnya tidak asing dalam dunia kesehatan hewan, tapi hanya beberapa jenis yang mampu menginfeksi manusia hingga menjadi penyakit radang paru.
Kasus ini diduga berkaitan dengan pasar hewan Huanan di Wuhan yang menjual berbagai jenis daging binatang, termasuk yang tidak biasa dikonsumsi seperti ular, kelelawar, dan berbagai jenis tikus. Dengan latar belakang tersebut, Virus Corona bukan kali ini saja membuat warga dunia panik. Memiliki gejala yang sama-sama mirip Flu, Virus Corona berkembang cepat hingga mengakibatkan infeksi yang lebih parah dan gagal organ.
Pengembangan vaksin COVID-19 menjadi salah satu pendekatan yang dipertimbangkan untuk mengatasi wabah SARS-CoV-2. Serupa dengan teknik pengembangan vaksin MERS (Middle East Respiratory Syndrome) dan SARS, sejumlah teknik pengembangan vaksin virus corona menggunakan DNA, mRNA, protein rekombinan, dan vektor adenovirus kini sedang banyak dipelajari. Penggunaan teknik yang menargetkan protein S dan protein lain yang terkait (misalnya, protein N, S1, S2, dan RBD) juga dapat dipertimbangkan sebab protein semacam ini juga menjadi target dalam pengembangan vaksin MERS dan SARS.
Sejak penyebaran informasi tentang urutan genetik SARS-CoV-2 pada pertengahan Januari 2020, berbagai institusi akademik dan perusahaan farmasi di seluruh dunia telah terlibat dalam pengembangan vaksin penyakit COVID-19 dan beberapa kandidat vaksin telah mencapai tahap evaluasi efikasi uji pada hewan coba serta uji klinis. Bahkan, telah diakui dan siap dipergunakan untuk masyarakat.
Penemuan dan pengembangan vaksin COVID-19 yang memasuki tahap akhir uji klinis, tidak serta merta menjadi angin segar bagi masyarakat. Dunia kembali terpecah menjadi dua kubu, blok yang beranggapan vaksin dibutuhkan dan yang tidak. Namun, melihat pada situasi setahun ke belakang, banyak negara yang telah berhasil menurunkan angka pasien COVID-19 jauh sebelum ditemukannya vaksin tersebut. Jadi, sebenarnya apakah vaksin ini dibutuhkan, atau terdapat agenda tertentu dibalik tindakan masif pemerintah berbagai negara di dunia.
Keberhasilan Berbagai Negara Menangani Pandemi
Hingga hari ini (13/12/20) kasus COVID-19 di dunia telah mencapai angka 71.6 juta dengan kematian 1.6 juta. Fakta menunjukan kesembuhan pasien COVID-19 berjumlah 46.8 juta atau 66% pasien dinyatakan sembuh. Pulihnya pasien COVID-19 merupakan fakta, bahwa manusia memiliki daya tahan tubuh yang bisa berjuang menyembuhkan dirinya sendiri. Melalui bantuan para tenaga kesehatan, dengan vitamin yang diberikan kepada pasien di berbagai pusat karantina. Kita telah melihat pola yang sama, bahwa manusia secara alami mampu melawan virus tersebut.
Sebelum vaksin COVID-19 dideklarasikan ditemukan dan masuk ke tahap uji klinis, beberapa negara telah terbukti berhasil menangani virus corona. Selandia Baru merupakan salah satu negara yang berhasil menangani COVID-19. Sejak 8 Juni 2020, pemerintah Selandia Baru telah mengumumkan negaranya terbebas dari virus corona. Tanggapnya pemerintah Selandia Baru dalam menangani pandemi tersebut, sejak maret telah menetapkan berbagai protokol kesehatan membuat mereka sukses melawan corona dengan hanya 22 kasus kematian.
Melalui kebijakan yang tepat dengan lock down, social distancing dan tanggapnya pemerintah negara, selain Selandia Baru terdapat beberapa negara yang berhasil dalam menangani Corona. Vietnam merupakan salah satu negara ASEAN yang sukses menangani COVID-19. Angka kasus COVID-19 di Vietnam hanyalah berjumlah 1.397 dengan kesembuhan 1.241. Tentu saja membuat Vietnam bersih dari corona, dengan kenaikan kasus hanya 2 perharinya.
Selain Vietnam, Singapura juga menjadi negara yang efektif dalam menangani pandemi ini. Sebagai negara gerbang ekonomi ASEAN, Singapura menjadi bagian vital dari penyebaran virus corona. Namun, sejak oktober 2020 Singapura telah berhasil menurunkan angka kasus, dengan rata-rata tidak lebih dari 20 kasus perharinya. Fakta tersebut merupakan pencapaian yang luar biasa jika dibandingkan dengan kasus mereka di bulan april hingga agustus.
Republik Rakyat Tiongkok sendiri sebagai negara asal virus corona telah berhasil menangani pandemi COVID-19. Sejak April 2020 angka kasus corona telah berhasil ditekan dan rata-rata kasus tidak lebih dari angka 20 perharinya. Sejak 2019 kasus corona di Tiongkok mencapai angka 86.741 dengan kesembuhan 94.30%. Bahkan saat ini kehidupan masyarakat di Tiongkok telah dijalani secara normal. Meskipun Tiongkok masih menutup akses dari turis mancanegara.
Selain Selandia Baru, Singapura, Vietnam dan Tiongkok terdapat beberapa negara lainnya yang berhasil dalam penanganan pandemi COVID-19, sebelum ramai adanya vaksin corona. Taiwan sebagai negara tetangga Tiongkok tentu saja riskan terhadap dampak penularan virus tersebut. Namun, pemerintah Taiwan berhasil meminmalisasi angka kasus corona dengan hanya berjumlah 675 kasus dan 7 kematian. Keberhasilan negara-negara di atas telah menjadi contoh dan bukti bahwa virus corona dapat dilawan dengan penanganan yang tepat.
Penolakan Vaksinasi COVID-19
Berbagai negara, pebisnis, dan lembaga independen sejak Januari 2020, berlomba untuk mejadi penemu vaksin COVID-19. Namun apadaya, berbagai penelitian di dunia juga menghasilkan berbagai perbedaan. Struktur virus yang bisa berubah dengan cepat, ditambah angka pasti orang dengan imun penyakit ini tidak diketahui. Membuat banyak keraguan berkembang di pemerintah, masyarakat hingga tenaga kesehatan sendiri.
Sejak September 2020, Pemerintah Tiongkok telah mengumumkan memiliki satu vaksin corona yang siap digunakan. Melalui Kepala Kesehatan Beijing menyampaikan bahwa negaranya tidak akan melakukan vaksinasi kepada warganya. Berasalan bahwa angka kasus rendah dan sebagian besar telah hilang dari negaranya. Hal ini tentu menimbulkan berbagai spekulasi, apakah Tiongkok tidak yakin dengan vaksinnya sendiri, atau tidak mau menjadikan populasinya sebagai kelinci percobaan. Bahkan pemerintahannya menegaskan bahwa vaksinasi corona akan dilakukan jika terjadi wabah besar kembali.
Politisasi dari adanya vaksin corona tidak hanya dipandang sebagai jalan keluar dari pandemi, melainkan adanya tujuan lain di dalamnya. Penolakan penggunaan vaksin Sinovac dilakukan secara terbuka oleh Presiden Brazil. Jair Bolsonaro tidak ingin menjadikan warga negaranya sebagai kelinci percobaan. Selain Brazil, Bangladesh juga melakukan hal serupa. Menolak pihak Tiongkok untuk melakukan uji klinis vaksin Sinovac tersebut. Pemerintah bangladesh menolak pembiayaan bersama yang diajukan perusahaan Sinovac Biotech. Bangladesh merasa dikhianati pemerintah Tiongkok karena pada perjanjian kerjasama, perusahaan Tiongkok harus membiayai inisiatif tersebut sepenuhnya.
Meskipun banyak keyakinan lain yang melatar belakangi penolakan vaksin tersebut lebih bersifat politik, namun ada keraguan lain yang menguat. Bukan hanya dari segi harga, akses, hingga ketersediaan akan tetap keamanan yang perlu dijamin. Terdapat resiko hidup dan mati yang dipertaruhkan dalam setiap vaksin yang disuntikan ke dalam tubuh manusia. Negara adidaya seperti Tiongkok, Rusia dan Amerika Serikat bahkan menolak menggunakan fasilitas COVAX dalam kerjasama kemudahan dan pemenuhan kebutuhan vaksin di dunia. Ketiga negara tersebut menolak dengan alasan egois mereka yaitu mengamankan vaksin bagi negara mereka sendiri.
Berbeda halnya dengan Indonesia dan berbagai negara berkembang lainnya di dunia. Banyak masyarakat yang pasrah dan memilih menjadi kelinci percobaan uji vaksin sinovac. Masyarakat secara diam-diam datang ke Puskesmas yang terlihat seperti gudang besar di tengah kota Bandung. Tim peneliti menyuntik vaksin baru tersebut kepada relawan yang datang. Sebagian besar relawan yang hadir adalah pekerja kasar atau masyarakat ekonomi kebawah dengan alasan agar bisa tetap mencari nafkah. Fakta tersebut menunjukan kepasrahan dari masyarakat mempertaruhkan hidup antara mati karena percobaan vaksin ataupun mati karena keterpurukan ekonomi.
Kontroversi Vaksin COVID-19 di Indonesia
Kebimbangan penggunaan vaksin COVID-19 sedang menghantui masyarakat Indonesia. Kontroversial masyarakat yang menimbang kehalalan dan kemanan yang belum bisa dipastikan. Harga juga menjadi permasalahan utama, mungkin hanya bisa diakses kalangan orang berada. Pemerintah Indonesia telah memutuskan menggunakan vaksin sinovac. Bahkan telah mempersiapkan 160 juta vaksin, yang siap disalurkan ke masyarakat melalui peta prioritas.
Vaksin Sinovac direncanakan akan mulai disuntikan kepada masyarakat pada bulan ini. Namun, vaksin sinovac sendiri belum ada hasil uji klinis fase 3. Sehingga tidak bisa dipastikan aman untuk digunakan masyarakat. Berbagai pihak telah melakukan penolakan secara terbuka kepada pemerintah. Terutama garda terdepan tenaga kesehatan yang merupakan golongan utama masyarakat yang akan disuntikan vaksin COVID-19 tahap satu. Pemerintah Indonesia terlihat tergesa-gesa, bukan karena ingin menyembuhkan masyarakat tetapi lebih terlihat karena ketidak mampuannya dalam menangani pandemi COVID-19.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sendiri belum mengeluarkan ijin penggunaan vaksin sinovac. Pemerintah juga perlu mempersiapkan panduan dalam pemberian vaksin, dan setiap vaksin harus memiliki kemanan melalui uji klinis. Untuk mencapai tujuan utama kemanan penggunaan vaksin tentu saja membutuhkan waktu dan proses yang panjang. Jangan sampai kita menjadi seperti Inggris, menggunakan vaksin astrazeneca yang bukannya menyembuhkan melainkan melahirkan penyakit baru.
Pemerintah diharapkan untuk melakukan finalisasi mendalam, sebelum memutuskan diberlakukannya vaksin sinovac. Pemerintah perlu mempersiapkan secara matang pemetaan daerah prioritas vaksin dengan mempertimbangkan aspek jumlah kasus positif, jumlah penduduk, luas wilayah dan aspek lainnya. Mempersiapkan proses distribusi vaksin, termasuk penyiapan sistem rantai dingin yang digunakan untuk menjaga kualitas dan efektivitas selama distribusi.
Pemerintah Indonesianya seharusnya tidak tergesa-gesa dalam proses vaksinasi di Indonesia. Banyak hal perlu dipertimbangkan dan dipersiapkan secara matang, karena ini berhubungan dengan hajat hidup orang banyak. Pemerintah sebaiknya memperbaiki sistem penanganan COVID-19 belajar dari negara-negara yang telah berhasil jauh sebelum adanya vaksin tersebut. Nyawa warga negara dipertaruhkan, apakah nantinya pemberian vaksin tersebut membunuh atau benar-benar menangkis virus corona.
Oleh : Muh.Ade, Muh.Raihan, Pandu.P